Senin, 12 Mei 2014

Kalau tidak mau dengar, bacalah.

Ada kisah sebentar. Antara Aku dan seorang lelaki.
Katanya, "Kenapa kau terlihat bahagia sekali?"
kujawab sambil tersenyum genit, "Aku sudah mengakhiri semuanya"
dia hanya tertawa, dia bilang lagi "Tidak ada lelaki yang kau cintai selain dia. Aku bisa melindungimu dari semua gelisah, tapi kau tidak pernah mencintaiku. Kau sudah tidak mau bertahan? Kau bisa, aku tahu"
Aku diam.

Seenaknya saja lelaki ini bilang aku bisa. Padahal dia tidak tahu apa yang kujalani. Padahal dia tidak tahu aku selalu dalam perlindungan yang salah, termasuk dalam perlindungannya. Kukisahkan padanya tentang patah hati. Dia bilang, waktu yang akan sembuhkan. Kukisahkan padanya bahwa bukan aku yang salah atas tuduhan orang-orang itu, dia bilang, sudahlah, kau sangat kuat.

Kutanya padanya "apa benar aku yang salah?"
Dia ragu menjawabnya. Kutunggu beberapa saat, akhirnya dia bilang, "aku tidak tahu"
Ah sama saja dengan tidak bertanya.
"Tapi aku percaya padamu" dia melanjutkan.
Dalam hati aku memaki. Apa yang kau percayai dariku? Apa yang bisa kupercaya darimu? Hampir tidak ada. Aku berusaha sebisa mungkin membahagiakan orang itu, tapi dia selalu menyalahkanku. Aku berusaha sebisa mungkin mencintai lelaki ini, tapi dia malah percaya padaku. Bukan ini yang kumau! Hanya ketidak-mengertian yang kudapat. Kumaki mereka lewat senyuman yang paling manis. Kau tidak akan mengerti, kalian juga.

Lewat kisah sebentar ini kutuliskan, aku tidak pernah menyesal atas keputusanku. Meski kubuat dengan ketidak-mengertian. Tapi sebetulnya mereka lebih tidak mengerti lagi.  Kau tidak mau mendengar, yasudah kau baca sajalah. Jangan salahkan aku.

Aku jahat
Saat aku lari ke pelukannya waktu kau tak menginginkanku
Aku jahat
Saat aku tanggalkan cintaku waktu kau berpaling dari perhatianku
Aku sejahat kau, ternyata

*ps: kata perempuan2 itu, mereka tidak pernah sekuat aku.

Rabu, 16 April 2014

Aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya


“Aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya”
Katakanlah, sebuah awal akan memiliki akhir. Aku tak pernah tau awal cerita ini. Aku juga tak pernah bisa menebak akhirnya. Dan aku tak kuasa merangkai potong demi potong kejadian ini menjadi serangkaian cerita indah maupun cerita menyedihkan sekalipun.
Pernah suatu kali, aku mendengar kata cinta seorang pemuda. Berkatalah ia padaku, “aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Dan ketahuilah, itu tak pantas disebut sebagai sebuah janji. Karena janji tidak untuk di ingkari, bukan?
Pernah pula aku mendengar “pergilah, aku tak pantas untukmu”. Kawan, aku tak tahu kalimat macam apa ini. Apakah macam sehelai baju yang tak pantas untuk kau kenakan?
Banyak waktu yang telah aku habiskan untuk berkelana. Dan tak satupun meyakinkan aku untuk berhenti mencari. Aku tak pernah puas. Tak akan pernah.
Mungkin begitu pula sama halnya dengan kasih yang ku miliki. Aku tak pernah puas memberikannya kepada siapapun yang kutemui. Aku mengasihi, tak peduli seberapa kasih yang akan kembali padaku. Terkadang, aku tak mendapat kembalian sama sekali.

Sampai akhirnya aku bertemu seseorang yang diberi nama Kekasih. Kekasihku akan memberikan sebongkah permata dengan berjuta perhatian dan kasih sayang. Suatu waktu ia berkata “aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Kawan, sudah kubilang itu bukan sebuah janji. Karena janji bukan untuk diingkari, bukan?
Setelah itu aku tak bertemu Kekasihku lagi. Apakah ini sebuah akhir? Aku tak tau. Aku melihatnya, tapi tak dapat memiliki sebongkah permata dengan berjuta perhatian dan kasih sayang lagi. Inikah yang dinamakan orang sebagai ‘kehilangan’ ? tapi muncul pertanyaan yang baru: apakah aku pernah memiliki? Mungkin jika jawabannya iya, maka aku tak pernah kehilangan. Karena apa yang telah menjadi milikku, tak akan bisa pergi dariku. Kawanku, aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya.
Hatiku mencelos. Seiring berjalannya waktu, aku merindukan kehadiran seorang kekasih. Akupun tak mengerti mengapa seorang kawan tak bisa menggantikan posisi seorang kekasih. Dan aku belum juga mendapat jawabannya ketika seseorang menawarkan dirinya untuk menjadi kekasihku. Aku bahagia. Aku tak lagi memikirkan persoalan mengapa kawanku tak bisa menjadi seorang kekasih sekaligus. Yang ku tahu hanya, kekasihku sekarang ini menyelimutiku dengan kehangatan kasih yang mendalam. Tapi aku tak juga merasakan kehangatannya. Lalu berkatalah ia padaku “pergilah, aku tak pantas untukmu”. Kawan, kurasa kau juga tahu bahwa aku tak tahu kalimat macam apa itu. Apakah macam sehelai baju yang tak pantas untuk kau kenakan? Mungkin jika jawabannya iya, maka kau akan menanggalkan baju itu dan beranjak untuk mencari baju baru. Atau kau akan tetap memakainya tapi dengan resiko dicibir oleh kawan-kawanmu yang lain. Aku rasa, aku akan memilih yang pertama. Kawanku, aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya.

                Sekian potong kejadian itu tak pernah kurangkai sebagai sebuah cerita indah maupun cerita menyedihkan sekalipun. Karena aku tak tahu harus memulainya darimana dan akan mengakhirinya sampai mana. Hampa. Mungkinkah aku kehilangan? Tapi kawan, jika aku kehilangan, maka sebelumnya aku pernah memiliki. Dan apa yang telah menjadi milikku, tak akan bisa pergi dariku.
                Semilir angin menghempaskan sekelebat rambutku yang kusut. Menutupi sebagian wajahku yang kecoklatan. Butir-butir pasir senantiasa mengerumuni telapak kakiku. Aku berjalan. Entahlah mau kemana. Birunya langit senada dengan laut dan gemercik ombak yang tak bisa berhenti. Mereka menemaniku. Dalam diam, dan kebisuan. Lalu dengan sendirinya kekasih itu ada. Menemaniku, dan membabat segala kebisuan. Menggenggam erat kasih dan mewarnai langit senja dengan menghadirkan kupu-kupu. “kita adalah sepasang kupu-kupu dibawah langit senja!” katanya. Aku hanya tersenyum. “aku milikmu, dan kau adalah milikku. Temani takdir itu, dan kita senantiasa akan bersama tanpa menantang kehendak Yang Kuasa” katanya setengah berteriak. Dan akupun tertawa. Kita tertawa. “apa yang telah menjadi milikku, tak akan bisa pergi dariku” kataku setengah berbisik. Tawanya terhenti. Matanya yang bulat dan kecil menembus kedua mataku. Perlahan-lahan, jemarinya memenuhi sela-sela jariku. Berkatalah ia “aku kekasihmu seutuhnya dan aku milikmu seluruhnya!”
Kawanku, sudah banyak aku mendengar janji yang berubah menjadi tahayul semata. Aku menyangsikan semua ini. Tapi aku tak dapat sedikitpun menyangsikan keberadaan kupu-kupu yang beterbangan didalam perutku. Sekali lagi, aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya.
                Beruntunglah sekuntum mawar merah yang memiliki keharuman mewangi ditengah taman bunga. Menarik perhatian sejumlah kupu-kupu untuk mengambil sari-sarinya yang manis. Beruntunglah seorang gadis yang memiliki keindahan dan menjaga segala keharumannya. Mendatangkan kesetiaan dan kekaguman pada kaumnya. Beruntunglah seorang penyendiri yang memiliki kawan untuk pelipur lara dan berbagi sepotong roti kering. Serta merta keberuntungan itu datang pada seorang kekasih yang tetap memiliki berjuta-juta kasih tak terhenti. Terkadang ia pergi, namun akan kembali lagi dan mengukir seulas senyum singkat yang mungkin akan terjadi berulang-ulang. Aku mendapati kemutlakan dalam memilikinya. Dan aku mulai pelit untuk berbagi apa yang kumiliki dengan orang lain. Yang aku tahu hanya, dia untukku, kau tidak akan bisa menyentuhnya barang sedikit pun! Aku mulai egois. “jika kau hanya memiliki, maka kau hanya akan memiliki. Jika mencintai apa yang menjadi milikmu, maka kau akan mengerti mengapa kekasih itu ada” kata seorang sahabat kepadaku. Kawan, kini aku tahu seorang kawan tidak sama dengan seorang kekasih. Ibarat madu dan racun yang dituang ke dalam dua buah cangkir teh hangat. Kekasihmu adalah orang yang menuangkannya dan kawanmu adalah orang yang membantumu menemukan cangkir yang tidak berbahaya untukmu. Seorang kekasih berbeda dengan seorang kawan, pun kau memiliki dan mencintai mereka. Tapi kau memiliki dan mencintai yang pertama dengan cara yang abstrak. Maka nikmatilah hari dimana hatimu akan berlumuran cahaya kehangatan dari sebuah sentuhan kasih sayang.
                “kekasihku, apakah kau menuangkan madu ke dalam cangkir teh ku? Ataukah racun yang ada didalamnya?”
Ia menjawab “aku hanya mencintaimu”
Kawanku, aku tak pernah datang padanya atau benar-benar berniat pergi meninggalkannya.

*ps: di tulis waktu aku masih ranum. (2011) disebut tulisan immortal.

Percuma Cintanya (Balada abang dan adek)

Semula kau menginginkan aku untuk mencintaimu
Sebagai perempuan, aku tunjukkan keangkuhanku
Lalu kau lawan dengan keberanianmu sebagai lelaki yang katanya pejuang cinta
Tanpa kenal menyerah, kau tunduk pada gengsi sebagai lelaki
Kau bilang, kau harus dapatkan cintaku
Bagaimana pun caranya

Aku semakin acuh
Sebagai perempuan, aku diajarkan bahasa menolak dan bahasa tidak untuk lelaki seperti kau
Tapi hatiku bukan batu
Rayuanmu lebih meluluhkan ketimbang ombak yang ingin meruntuhkan karang
Sehingga kusandarkan kepalaku ke pundakmu, tanda setuju
Senyummu mengembang
Tanda bangga mungkin juga ada sedikit bahagianya

Tapi sebentar saja
Naluri lelakimu datang lagi
Membawamu berkelana mencari tantangan yang lebih sulit
Ternyata cintaku mudah saja kau taruh di sudut-sudut penyimpanan sebagai salah satu koleksimu

Percuma,
Cintaku percuma, bang
Malah kau jadikan penghibur sebentar
Lalu kau sia-siakan
Bang, semudah itu cintaku kau ingin ganti
Bang, jika hanya ingin penghibur lebih baik kemarin jangan kau minta aku mencintaimu
Minta saja dibelai
Agar aku berikan belaian lima jari pada kedua pipimu
Agar aku tidak lelah lelah berusaha mencintaimu
Agar aku tidak merasa kehilangan
Setelah kau tak butuh cinta seperti yang ku beri

Bang, adek beri cinta yang percuma
Atau abang yang menyia-nyiakan tenaga selama itu menaklukkan hati adek, abis tu abang tinggalkan
Haha abang nih
Adek sudah biasa mendoakan lelaki seperti abang agar tahu rasanya
Selamat, bang
Nanti abang bikin hati perempuan-perempuan lainnya bersemi
Sedang hati adek memaki perbuatan abang
Haha

*ps: senandung melayu buat aku rindu. Kecup buat abang pake lima jari!

Sabtu, 22 Maret 2014

Monroe is Bleeding

"Kamu bisa saja berusaha melupakan seseorang bukan karena dia menyakitimu tapi karena dia begitu membahagiakanmu dan dia berhenti melakukannya

Aku membacanya sebentar saja. Tapi begitu dalam kalimat itu bisa mengungkapkan perasaanku. Setelah ku pikir-pikir, tidak banyak perasaan-perasaan yang bisa kuungkapkan. Tidak banyak keterusterangan yang kubuka. Mungkin itu sebabnya orang sungguh sulit mengungkapkan cinta atau kerinduan. Atau malah mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan. Mungkin karena itu maka ada komunikasi nonverbal. Untuk memberitahu yang tidak bisa diungkapkan. Atau untuk menyingkat perasaan yang begitu kompleks. Atau memang tidak ada kata-kata yang cukup indah untuk mewakili perasaan yang begitu misteriusnya.

Lagi, memang banyak perasaan-perasaan yang kutelan. Terlalu takut mengungkapkan yang sebenarnya. Terlalu takut untuk kecewa jika perasaan tidak mendapat sambutan. Atau terlalu takut untuk tidak sengaja menyakiti orang lain. Maka sudah terbiasa perasaan ini tidak di verbalkan. Mungkin ada terungkap pada simbol-simbol kelakuan. Tapi siapa mau peduli dan memperhatikan gerak-gerik tanpa tidak pasti akan bisa menerjemahkannya dengan tepat? Kurasa jarang ada yang mau.

Perasaan yang tidak diungkapkan itu, tentu bisa terlupa begitu saja. Tapi kalau-kalau ia teringat lagi, maka akan sangat menyesal kenapa tidak diungkapkan. Atau malah sebaliknya, menyesali kenapa perasaan itu mesti terungkapkan. Ada perasaan-perasaan yang mesti diungkapkan untuk sekedar melegakan dada. Ada pula yang mesti disembunyikan agar supaya tidak menyebabkan berbagai macam kerusakan. Tinggal bagaimana caramu mengungkapkan  perasaan-perasaan itu pada orang yang tepat dan menyembunyikan perasaan-perasaan itu dari orang yang salah. Dan tidak semua perbuatanmu selalu bisa tepat, kau mesti harus banyak salah dahulu.

Dari perasaan-perasaan yang tidak pernah diungkapkan itu, rasa-rasanya dada ini sudah penuh. Mau membuangnya, sayang. Mau kusimpan, tapi kebanyakan. Mau kuberikan, tapi pada siapa. Aku jadi takut sendiri nanti bisa-bisa aku meledak seperti bom waktu. Maka kali ini aku berjuang untuk melupakan saja perasaan-perasaan yang ingin diungkapkan atau yang tidak bisa diungkapkan atau yang sudah terlanjur terungkapkan. Karena sungguh, berat sekali rasanya kalau terus dipikirkan. Haha tapi tidak sesingkat itu. Dengan hanya niat ingin melupakan, tidak dengan otomatis perasaan-perasaan itu sirna begitu saja. Mereka malah tersimpan jauh lebih dalam lagi dan akan terkuak jika sedikit saja tersenggol kalimat sindiran. Seperi kalimat yang paling atas tadi. Ah kasihannya kau, perasaan.

Berbicara tentang melupakan, aku memang sedang ingin melupakan. Seperti kalimat pertama yang kau baca tadi. Pertamanya, kukira aku bahagia karena perlakuannya. Kukira aku bisa dengan mudah akan melupakannya jika dia tidak melakukan hal yang sama lagi. Singkatnya, bukannya aku takut kehilangan dirimu tapi aku takut kehilangan cintamu. Dia begitu membahagiakanku dan dia berhenti melakukannya. Sehingga aku tidak lagi mengharapkan dia untuk mengembalikan perlakuan awalnya, dan mencari perlakuan yang sama tapi pada orang yang berbeda. Setelah dapat, ternyata aku malah mengharapkan dia-lah yang melakukan hal itu. Singkatnya, aku takut kehilangan dia dan cintanya. Perasaan yang dia tidak akan mengerti ini, tidak tahu harus kuapakan. Sepertinya, diungkapkan atau tidak, hasilnya akan tetap sama; aku akan menyesalinya. Yasudah, aku tuliskan saja pada kalian semua, agar kalian lebih tahu bagaimana mestinya perasaan-perasaan itu diperlakukan. Atau malah sudah takdirnya untuk hanya dirasa, lalu dibuang begitu saja.

*ps: It’s called Monroe is Bleeding. And it’s one level above Bloody Monroe

Menikmati Sedih

Beberapa waktu belakangan kesedihan sedang datang menyelimuti
Hendak menghindar tapi melawan dengan apa, Aku tidak tau
Malah bahagia seperti menghindar terlalu jauh
Jadi aku putuskan untuk selalu sedih
Agar nanti bosan sedih lalu bahagia bisa datang
Tapi apalah
Menunggu sampai sebegini lamanya
Namun bahagia belum juga mau menghampiri
Terlalu birukah perasaan ini
Ah menyebalkan dan bikin lelah
Sebenarnya banyak tawaku
Tapi semua orang tau bahwa tawa bukanlah ukuran kebahagiaan
Jadi Aku sudah bosan menangis tapi belum pula sering bersujud
Lalu kutulis saja
Berharap seseorang membaca atau bahkan Tuhan yang berikan duli-Nya
Memang tidak ingin ku pelihara kesedihan ini
Tapi entah kenapa seakan menjadi pendamping paling serasi akhir-akhir ini
Kubaca pada cerpen
“Sudikah kau mengeccup bibir ini.....
Aih kata-kata seindah itu
Belum lagi Aku dapat menulis seperti itu
Tapi sudah lebih biru saja hati ini
Bah tak perlu kasihan!
Banyak pula yang bersedih
Tapi yang menikmati kesedihan seperti orang macam Aku ini,
Ah jarang sekali kau temukan
Jadi lebih baik jangan kau tinggalkan
*ps: ditulis pada 30 Januari 2014

Minggu, 16 Maret 2014

Kau Pulang; Bukan Akhir Dari Cerita

Sudah terbiasa aku menunggu.
Mungkin sebenarnya aku tidak perlu menunggu. Tapi aku tak punya pekerjaan lain. Jadi bisalah disebut bahwa yang kukerjakan adalah menunggu. Tapi juga, mungkin aku sengaja tak mengerjakan suatu hal pun hanya untuk menunggu. Entahlah.
Lama sudah aku menunggu. Hal-hal di depan mataku tak lagi nyata. Kejujuran bukan lagi terasa kejujuran. Mungkin rasa bosan sudah ubah cara pandangku. Entahlah.
Kudengar kau pulang ke rumah dimana selama ini tempatku menunggu. Dan itu hanya kudengar. Mungkin karena aku sudah tidak berada di rumah itu lagi. Wah, sebegitu besar rasa bosan yang harus disiram udara segar, bung. Kenapa tak pulang sewaktu aku sedang di rumah? Tunggulah, nanti atau entah kapan aku temui kau yang sudah pulang. Untuk itu, sudikah kau menunggu pada waktu yang tak pasti?
Tak ingin kudengar jawaban. Biarlah nanti saat aku pulang baru kulihat, apakah kau setegar kata-katamu atau kau sama denganku; juga menuntut kebebasan untuk menunggu tapi tidak di rumah itu.
Aku mau tanya banyak. Tapi tak ingin kudengar jawaban. Biar aku saja yang jawab dakwaanmu. Biar sedikit kurasa pening yang kemarin kuderita akibat pertanyaan-pertanyaan hati yang kujawab sendiri; takut kenyataannya lebih nyata dari jawaban hatiku.
Jatuhilah segala dakwaan padaku. Aku hanya punya mulut, dengan itu aku membela diri. Kejadian lampau tak kutulis, hanya kusimpan entah di otak sebelah mana. Dan akan menyenangkan bila bila nanti terlupakan.
Tapi satu tulisan yang masih bisa ingatkan aku bahwa aku dalam keadaan yang benar menurut hati yang surut dari semangat juang;
"Kau tak pernah mencintai dan menghormatiku sedalam aku mencintai dan menghormatimu"
Itu saja.

*ps: Masih juga dalam keadaan menunggu. 21 Juli 2013

Kamis, 13 Maret 2014

Belum Hebat


Tinta, hitam dan pekat. Aku tuliskan segalanya diatas kertas putih. Bukan, aku bukan manusia jaman lampau. Aku sedang memencet tombol-tombol huruf di layar putih. Tulisan tanganku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hasil teknologi mutakhir yang telah diciptakan manusia. Rapih. Jarak demi jarak sudah teratur. Huruf demi huruf tertata rapi meski tanpa garis tepi. Kemampuan menulisku semakin diserap. Lama kelamaan aku tidak ingin menulis diatas kertas putih dengan tanganku sendiri.

Jamanku sudah jaman informasi dan teknologi. Peran teknologi sudah mengambil alih pikiran-pikiran manusia. Belum tahu yang mana yang mesti dipercayai. Terombang-ambing dalam arus informasi yang tidak menentu. Kemana hidup mau dibawa, selalu ragu. Takut tidak menemui uang bulanan yang cukup untuk menopang kehidupan kelak. Takut tidak diberi pandang kehormatan jika tidak memiliki profesi tetap. Betapa menekan tombol-tombol ini sudah mengubah banyak hidup manusia.

Bicara tentang fakta, observasiku tidak akan pernah cukup. Perlu penelitian dan banyak teori yang telah dibuktikan untuk menjanjikan bahwa tulisanku ini cukup akurat. Tapi tidak, aku sedang tidak mengerjakan metode penelitian sosial. Aku sedang bicara tentang perasaanku. Banyak kekuatan yang minta dikeluarkan sementara kaki belum sepenuhnya dapat berpijak. Aku tumbuh dalam teknologi yang menggila, aku belajar dari informasi yang carut-marut. Aku pun tidak tahu akan kemana kubawa generasiku. Sementara tidak pernah ada kebenaran yang kutemukan.

Mama, aku ingin mengadu. Tapi kita telah dibesarkan di jaman yang berbeda. Aku terlalu modern untuk mau mengalah. Kau terlalu kuno untuk membuka pikiran pada hal-hal dalam kehidupanku. Ayah, tidak banyak nasihatmu yang bersemayam dalam kepalaku. Tapi aku tahu setahu-tahunya. Bahwa kau menginginkan aku untuk hidup sejahtera tanpa kekurangan sesuatu apapun. Ayah, aku seorang perempuan. Kaumku semakin jaman semakin bertambah dan semakin liar. Pikiranku juga begitu. Aku tidak ingin jadi manusia pencari uang bulanan, tapi aku harus bertahan dan mengisi perutku. Sementara kemewahan selalu menggodai mata batinku. Ya, aku perempuan dan aku selalu memilki karakteristik perempuan pada umumnya. Tapi tidak dengan tekadku. Jika tergoda oleh kemegahan, aku masih punya tekad untuk menyederhanakan. Jika aku terobsesi dengan kekayaan, entah darimana datangnya kekuatan untuk menjaga semuanya sesuai dengan porsinya.

Mama, Ayah, aku tidak tahu pasti ilmu seperti apa yang berperan dalam pertumbuhan kalian. Kita sangat berbeda tapi kita saling menyayangi. Ada darah yang mengikat kita untuk selalu ingin bersama dan ada adat budaya yang tidak bisa memisahkan kita. Selalu harus ada orang yang diandalkan oleh orang lainnya. Entah kenapa, aku malah terobsesi ingin hidup sendirian. Setelah teknologi mengajariku banyak informasi, budaya, tatanan, dan banyak lagi. Aku semakin punya keyakinan. Tapi berbentuk abstrak dan belum kumengerti cara menuliskannya. Sekali lagi, aku bukan manusia jaman lampau. Aku belajar dari era informasi yang begitu memabukkan. Aku masih belajar. Gagasan-gagasan yang bukan tulisan tanganku ini mungkin akan terbaca oleh beberapa orang, Ma, Yah. Tapi tidak dengan kalian. Ku kira kalian sudah puas dengan hidup yang seperti sekarang. Ku kira kalian sudah tidak akan mau lagi ikut perkembangan jamanku yang begitu kompleks dan membingungkan. Seakan-akan kalian sudah ingin mengejar dimensi yang lain.

Tidak, aku sedang tidak membicarakan kedua orang yang selalu melindungiku. Aku sedang tidak membicarakan seberapa protektifnya mereka terhadap tumbuh kembangku. Gagasanku ini hanya segelintir resah yang bisa tertuang. Sisanya entah. Teknologi telah memaksaku dan beberapa orang lainnya untuk belajar. Belajar menguasai dunia lalu mengeruknya untuk dijadikan beberapa lembar kertas yang lucu. Kertas lucu yang selalu menjadi tujuan utama dalam hidup. Meski katanya kertas lucu itu tidak berpengaruh dengan apa yang kita dapat, tapi kertas lucu itu yang punya peran utama untuk mendapatkan apa yang kita mau. Bah. Aku semakin belum tahu membawa kemana gagasan-gagasanku ini. Tujuan-tujuan semula serasa melebur malam ini. Tapi kemungkinan besar akan terbakar kembali esok hari. Teknologi yang mendekatkan kita tidak boleh tersia-siakan, Ma, Yah. Teknologi ini juga yang harus mendekatkan aku pada tujuanku. Keringat kita tidak akan kering sebelum kita mendapat imbalannya.

Kalimat demi kalimat yang tersusun dalam buku elektronik ini adalah keresahan perempuan yang tidak tahu kemana risalahnya harus dialamatkan. Sementara mengenyam pendidikan yang semakin ruwet, sementara tuntutan untuk menjadi unggul telah menekan dari segala arah. Sementara orientasi mayoritas adalah materi. Dan sungguh benar teori spiral of silence itu. Aku telah ditaklukkan mayoritas untuk membungkam keminoritasanku. Maka dengan ini aku mencari kedamaian atas ketakutanku menjadi beda dari yang lain. Haha lagi pula aku tidak terlalu mengerti teori spiral of silence. Pertama, karena saat materi itu diajarkan, pengajarnya adalah seorang perempuan dari rusia yang berbicara bahasa inggris dengan kata-kata sulit. Kedua, banyak tugas lain yang minta di optimalkan sementara aku tidak sempat memperdalam teori itu. Ketiga, haha aku pemalas dan dimanjakan teknologi.

*ps: haha