“Aku tak pernah
datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya”
Katakanlah, sebuah awal akan memiliki
akhir. Aku tak pernah tau awal cerita ini. Aku juga tak pernah bisa menebak
akhirnya. Dan aku tak kuasa merangkai potong demi potong kejadian ini menjadi
serangkaian cerita indah maupun cerita menyedihkan sekalipun.
Pernah suatu kali, aku mendengar kata
cinta seorang pemuda. Berkatalah ia padaku, “aku tak akan pergi
meninggalkanmu”. Dan ketahuilah, itu tak pantas disebut sebagai sebuah janji.
Karena janji tidak untuk di ingkari, bukan?
Pernah pula aku mendengar “pergilah,
aku tak pantas untukmu”. Kawan, aku tak tahu kalimat macam apa ini. Apakah
macam sehelai baju yang tak pantas untuk kau kenakan?
Banyak waktu yang telah aku habiskan
untuk berkelana. Dan tak satupun meyakinkan aku untuk berhenti mencari. Aku tak
pernah puas. Tak akan pernah.
Mungkin begitu pula sama halnya dengan
kasih yang ku miliki. Aku tak pernah puas memberikannya kepada siapapun yang
kutemui. Aku mengasihi, tak peduli seberapa kasih yang akan kembali padaku.
Terkadang, aku tak mendapat kembalian sama sekali.
Sampai akhirnya
aku bertemu seseorang yang diberi nama Kekasih. Kekasihku akan memberikan
sebongkah permata dengan berjuta perhatian dan kasih sayang. Suatu waktu ia
berkata “aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Kawan, sudah kubilang itu bukan
sebuah janji. Karena janji bukan untuk diingkari, bukan?
Setelah itu aku tak bertemu Kekasihku
lagi. Apakah ini sebuah akhir? Aku tak tau. Aku melihatnya, tapi tak dapat
memiliki sebongkah permata dengan berjuta perhatian dan kasih sayang lagi.
Inikah yang dinamakan orang sebagai ‘kehilangan’ ? tapi muncul pertanyaan yang
baru: apakah aku pernah memiliki? Mungkin jika jawabannya iya, maka aku tak
pernah kehilangan. Karena apa yang telah menjadi milikku, tak akan bisa pergi
dariku. Kawanku, aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi
meninggalkannya.
Hatiku mencelos. Seiring berjalannya
waktu, aku merindukan kehadiran seorang kekasih. Akupun tak mengerti mengapa
seorang kawan tak bisa menggantikan posisi seorang kekasih. Dan aku belum juga
mendapat jawabannya ketika seseorang menawarkan dirinya untuk menjadi
kekasihku. Aku bahagia. Aku tak lagi memikirkan persoalan mengapa kawanku tak
bisa menjadi seorang kekasih sekaligus. Yang ku tahu hanya, kekasihku sekarang
ini menyelimutiku dengan kehangatan kasih yang mendalam. Tapi aku tak juga
merasakan kehangatannya. Lalu berkatalah ia padaku “pergilah, aku tak pantas
untukmu”. Kawan, kurasa kau juga tahu bahwa aku tak tahu kalimat macam apa itu.
Apakah macam sehelai baju yang tak pantas untuk kau kenakan? Mungkin jika
jawabannya iya, maka kau akan menanggalkan baju itu dan beranjak untuk mencari
baju baru. Atau kau akan tetap memakainya tapi dengan resiko dicibir oleh
kawan-kawanmu yang lain. Aku rasa, aku akan memilih yang pertama. Kawanku, aku
tak pernah datang padanya atau berniat pergi meninggalkannya.
Sekian
potong kejadian itu tak pernah kurangkai sebagai sebuah cerita indah maupun
cerita menyedihkan sekalipun. Karena aku tak tahu harus memulainya darimana dan
akan mengakhirinya sampai mana. Hampa. Mungkinkah aku kehilangan? Tapi kawan,
jika aku kehilangan, maka sebelumnya aku pernah memiliki. Dan apa yang telah
menjadi milikku, tak akan bisa pergi dariku.
Semilir
angin menghempaskan sekelebat rambutku yang kusut. Menutupi sebagian wajahku
yang kecoklatan. Butir-butir pasir senantiasa mengerumuni telapak kakiku. Aku
berjalan. Entahlah mau kemana. Birunya langit senada dengan laut dan gemercik
ombak yang tak bisa berhenti. Mereka menemaniku. Dalam diam, dan kebisuan. Lalu
dengan sendirinya kekasih itu ada. Menemaniku, dan membabat segala kebisuan.
Menggenggam erat kasih dan mewarnai langit senja dengan menghadirkan kupu-kupu.
“kita adalah sepasang kupu-kupu dibawah langit senja!” katanya. Aku hanya
tersenyum. “aku milikmu, dan kau adalah milikku. Temani takdir itu, dan kita
senantiasa akan bersama tanpa menantang kehendak Yang Kuasa” katanya setengah
berteriak. Dan akupun tertawa. Kita tertawa. “apa yang telah menjadi milikku,
tak akan bisa pergi dariku” kataku setengah berbisik. Tawanya terhenti. Matanya
yang bulat dan kecil menembus kedua mataku. Perlahan-lahan, jemarinya memenuhi
sela-sela jariku. Berkatalah ia “aku kekasihmu seutuhnya dan aku milikmu
seluruhnya!”
Kawanku, sudah banyak aku mendengar
janji yang berubah menjadi tahayul semata. Aku menyangsikan semua ini. Tapi aku
tak dapat sedikitpun menyangsikan keberadaan kupu-kupu yang beterbangan didalam
perutku. Sekali lagi, aku tak pernah datang padanya atau berniat pergi
meninggalkannya.
Beruntunglah
sekuntum mawar merah yang memiliki keharuman mewangi ditengah taman bunga.
Menarik perhatian sejumlah kupu-kupu untuk mengambil sari-sarinya yang manis.
Beruntunglah seorang gadis yang memiliki keindahan dan menjaga segala
keharumannya. Mendatangkan kesetiaan dan kekaguman pada kaumnya. Beruntunglah
seorang penyendiri yang memiliki kawan untuk pelipur lara dan berbagi sepotong
roti kering. Serta merta keberuntungan itu datang pada seorang kekasih yang
tetap memiliki berjuta-juta kasih tak terhenti. Terkadang ia pergi, namun akan
kembali lagi dan mengukir seulas senyum singkat yang mungkin akan terjadi
berulang-ulang. Aku mendapati kemutlakan dalam memilikinya. Dan aku mulai pelit
untuk berbagi apa yang kumiliki dengan orang lain. Yang aku tahu hanya, dia
untukku, kau tidak akan bisa menyentuhnya barang sedikit pun! Aku mulai egois.
“jika kau hanya memiliki, maka kau hanya akan memiliki. Jika mencintai apa yang
menjadi milikmu, maka kau akan mengerti mengapa kekasih itu ada” kata seorang sahabat
kepadaku. Kawan, kini aku tahu seorang kawan tidak sama dengan seorang kekasih.
Ibarat madu dan racun yang dituang ke dalam dua buah cangkir teh hangat. Kekasihmu
adalah orang yang menuangkannya dan kawanmu adalah orang yang membantumu
menemukan cangkir yang tidak berbahaya untukmu. Seorang kekasih berbeda dengan
seorang kawan, pun kau memiliki dan mencintai mereka. Tapi kau memiliki dan
mencintai yang pertama dengan cara yang abstrak. Maka nikmatilah hari dimana
hatimu akan berlumuran cahaya kehangatan dari sebuah sentuhan kasih sayang.
“kekasihku,
apakah kau menuangkan madu ke dalam cangkir teh ku? Ataukah racun yang ada
didalamnya?”
Ia menjawab “aku hanya mencintaimu”
Kawanku, aku tak pernah datang padanya
atau benar-benar berniat pergi meninggalkannya.
*ps: di tulis waktu aku masih ranum. (2011) disebut tulisan immortal.