Sabtu, 22 Maret 2014

Monroe is Bleeding

"Kamu bisa saja berusaha melupakan seseorang bukan karena dia menyakitimu tapi karena dia begitu membahagiakanmu dan dia berhenti melakukannya

Aku membacanya sebentar saja. Tapi begitu dalam kalimat itu bisa mengungkapkan perasaanku. Setelah ku pikir-pikir, tidak banyak perasaan-perasaan yang bisa kuungkapkan. Tidak banyak keterusterangan yang kubuka. Mungkin itu sebabnya orang sungguh sulit mengungkapkan cinta atau kerinduan. Atau malah mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan. Mungkin karena itu maka ada komunikasi nonverbal. Untuk memberitahu yang tidak bisa diungkapkan. Atau untuk menyingkat perasaan yang begitu kompleks. Atau memang tidak ada kata-kata yang cukup indah untuk mewakili perasaan yang begitu misteriusnya.

Lagi, memang banyak perasaan-perasaan yang kutelan. Terlalu takut mengungkapkan yang sebenarnya. Terlalu takut untuk kecewa jika perasaan tidak mendapat sambutan. Atau terlalu takut untuk tidak sengaja menyakiti orang lain. Maka sudah terbiasa perasaan ini tidak di verbalkan. Mungkin ada terungkap pada simbol-simbol kelakuan. Tapi siapa mau peduli dan memperhatikan gerak-gerik tanpa tidak pasti akan bisa menerjemahkannya dengan tepat? Kurasa jarang ada yang mau.

Perasaan yang tidak diungkapkan itu, tentu bisa terlupa begitu saja. Tapi kalau-kalau ia teringat lagi, maka akan sangat menyesal kenapa tidak diungkapkan. Atau malah sebaliknya, menyesali kenapa perasaan itu mesti terungkapkan. Ada perasaan-perasaan yang mesti diungkapkan untuk sekedar melegakan dada. Ada pula yang mesti disembunyikan agar supaya tidak menyebabkan berbagai macam kerusakan. Tinggal bagaimana caramu mengungkapkan  perasaan-perasaan itu pada orang yang tepat dan menyembunyikan perasaan-perasaan itu dari orang yang salah. Dan tidak semua perbuatanmu selalu bisa tepat, kau mesti harus banyak salah dahulu.

Dari perasaan-perasaan yang tidak pernah diungkapkan itu, rasa-rasanya dada ini sudah penuh. Mau membuangnya, sayang. Mau kusimpan, tapi kebanyakan. Mau kuberikan, tapi pada siapa. Aku jadi takut sendiri nanti bisa-bisa aku meledak seperti bom waktu. Maka kali ini aku berjuang untuk melupakan saja perasaan-perasaan yang ingin diungkapkan atau yang tidak bisa diungkapkan atau yang sudah terlanjur terungkapkan. Karena sungguh, berat sekali rasanya kalau terus dipikirkan. Haha tapi tidak sesingkat itu. Dengan hanya niat ingin melupakan, tidak dengan otomatis perasaan-perasaan itu sirna begitu saja. Mereka malah tersimpan jauh lebih dalam lagi dan akan terkuak jika sedikit saja tersenggol kalimat sindiran. Seperi kalimat yang paling atas tadi. Ah kasihannya kau, perasaan.

Berbicara tentang melupakan, aku memang sedang ingin melupakan. Seperti kalimat pertama yang kau baca tadi. Pertamanya, kukira aku bahagia karena perlakuannya. Kukira aku bisa dengan mudah akan melupakannya jika dia tidak melakukan hal yang sama lagi. Singkatnya, bukannya aku takut kehilangan dirimu tapi aku takut kehilangan cintamu. Dia begitu membahagiakanku dan dia berhenti melakukannya. Sehingga aku tidak lagi mengharapkan dia untuk mengembalikan perlakuan awalnya, dan mencari perlakuan yang sama tapi pada orang yang berbeda. Setelah dapat, ternyata aku malah mengharapkan dia-lah yang melakukan hal itu. Singkatnya, aku takut kehilangan dia dan cintanya. Perasaan yang dia tidak akan mengerti ini, tidak tahu harus kuapakan. Sepertinya, diungkapkan atau tidak, hasilnya akan tetap sama; aku akan menyesalinya. Yasudah, aku tuliskan saja pada kalian semua, agar kalian lebih tahu bagaimana mestinya perasaan-perasaan itu diperlakukan. Atau malah sudah takdirnya untuk hanya dirasa, lalu dibuang begitu saja.

*ps: It’s called Monroe is Bleeding. And it’s one level above Bloody Monroe

Menikmati Sedih

Beberapa waktu belakangan kesedihan sedang datang menyelimuti
Hendak menghindar tapi melawan dengan apa, Aku tidak tau
Malah bahagia seperti menghindar terlalu jauh
Jadi aku putuskan untuk selalu sedih
Agar nanti bosan sedih lalu bahagia bisa datang
Tapi apalah
Menunggu sampai sebegini lamanya
Namun bahagia belum juga mau menghampiri
Terlalu birukah perasaan ini
Ah menyebalkan dan bikin lelah
Sebenarnya banyak tawaku
Tapi semua orang tau bahwa tawa bukanlah ukuran kebahagiaan
Jadi Aku sudah bosan menangis tapi belum pula sering bersujud
Lalu kutulis saja
Berharap seseorang membaca atau bahkan Tuhan yang berikan duli-Nya
Memang tidak ingin ku pelihara kesedihan ini
Tapi entah kenapa seakan menjadi pendamping paling serasi akhir-akhir ini
Kubaca pada cerpen
“Sudikah kau mengeccup bibir ini.....
Aih kata-kata seindah itu
Belum lagi Aku dapat menulis seperti itu
Tapi sudah lebih biru saja hati ini
Bah tak perlu kasihan!
Banyak pula yang bersedih
Tapi yang menikmati kesedihan seperti orang macam Aku ini,
Ah jarang sekali kau temukan
Jadi lebih baik jangan kau tinggalkan
*ps: ditulis pada 30 Januari 2014

Minggu, 16 Maret 2014

Kau Pulang; Bukan Akhir Dari Cerita

Sudah terbiasa aku menunggu.
Mungkin sebenarnya aku tidak perlu menunggu. Tapi aku tak punya pekerjaan lain. Jadi bisalah disebut bahwa yang kukerjakan adalah menunggu. Tapi juga, mungkin aku sengaja tak mengerjakan suatu hal pun hanya untuk menunggu. Entahlah.
Lama sudah aku menunggu. Hal-hal di depan mataku tak lagi nyata. Kejujuran bukan lagi terasa kejujuran. Mungkin rasa bosan sudah ubah cara pandangku. Entahlah.
Kudengar kau pulang ke rumah dimana selama ini tempatku menunggu. Dan itu hanya kudengar. Mungkin karena aku sudah tidak berada di rumah itu lagi. Wah, sebegitu besar rasa bosan yang harus disiram udara segar, bung. Kenapa tak pulang sewaktu aku sedang di rumah? Tunggulah, nanti atau entah kapan aku temui kau yang sudah pulang. Untuk itu, sudikah kau menunggu pada waktu yang tak pasti?
Tak ingin kudengar jawaban. Biarlah nanti saat aku pulang baru kulihat, apakah kau setegar kata-katamu atau kau sama denganku; juga menuntut kebebasan untuk menunggu tapi tidak di rumah itu.
Aku mau tanya banyak. Tapi tak ingin kudengar jawaban. Biar aku saja yang jawab dakwaanmu. Biar sedikit kurasa pening yang kemarin kuderita akibat pertanyaan-pertanyaan hati yang kujawab sendiri; takut kenyataannya lebih nyata dari jawaban hatiku.
Jatuhilah segala dakwaan padaku. Aku hanya punya mulut, dengan itu aku membela diri. Kejadian lampau tak kutulis, hanya kusimpan entah di otak sebelah mana. Dan akan menyenangkan bila bila nanti terlupakan.
Tapi satu tulisan yang masih bisa ingatkan aku bahwa aku dalam keadaan yang benar menurut hati yang surut dari semangat juang;
"Kau tak pernah mencintai dan menghormatiku sedalam aku mencintai dan menghormatimu"
Itu saja.

*ps: Masih juga dalam keadaan menunggu. 21 Juli 2013

Kamis, 13 Maret 2014

Belum Hebat


Tinta, hitam dan pekat. Aku tuliskan segalanya diatas kertas putih. Bukan, aku bukan manusia jaman lampau. Aku sedang memencet tombol-tombol huruf di layar putih. Tulisan tanganku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hasil teknologi mutakhir yang telah diciptakan manusia. Rapih. Jarak demi jarak sudah teratur. Huruf demi huruf tertata rapi meski tanpa garis tepi. Kemampuan menulisku semakin diserap. Lama kelamaan aku tidak ingin menulis diatas kertas putih dengan tanganku sendiri.

Jamanku sudah jaman informasi dan teknologi. Peran teknologi sudah mengambil alih pikiran-pikiran manusia. Belum tahu yang mana yang mesti dipercayai. Terombang-ambing dalam arus informasi yang tidak menentu. Kemana hidup mau dibawa, selalu ragu. Takut tidak menemui uang bulanan yang cukup untuk menopang kehidupan kelak. Takut tidak diberi pandang kehormatan jika tidak memiliki profesi tetap. Betapa menekan tombol-tombol ini sudah mengubah banyak hidup manusia.

Bicara tentang fakta, observasiku tidak akan pernah cukup. Perlu penelitian dan banyak teori yang telah dibuktikan untuk menjanjikan bahwa tulisanku ini cukup akurat. Tapi tidak, aku sedang tidak mengerjakan metode penelitian sosial. Aku sedang bicara tentang perasaanku. Banyak kekuatan yang minta dikeluarkan sementara kaki belum sepenuhnya dapat berpijak. Aku tumbuh dalam teknologi yang menggila, aku belajar dari informasi yang carut-marut. Aku pun tidak tahu akan kemana kubawa generasiku. Sementara tidak pernah ada kebenaran yang kutemukan.

Mama, aku ingin mengadu. Tapi kita telah dibesarkan di jaman yang berbeda. Aku terlalu modern untuk mau mengalah. Kau terlalu kuno untuk membuka pikiran pada hal-hal dalam kehidupanku. Ayah, tidak banyak nasihatmu yang bersemayam dalam kepalaku. Tapi aku tahu setahu-tahunya. Bahwa kau menginginkan aku untuk hidup sejahtera tanpa kekurangan sesuatu apapun. Ayah, aku seorang perempuan. Kaumku semakin jaman semakin bertambah dan semakin liar. Pikiranku juga begitu. Aku tidak ingin jadi manusia pencari uang bulanan, tapi aku harus bertahan dan mengisi perutku. Sementara kemewahan selalu menggodai mata batinku. Ya, aku perempuan dan aku selalu memilki karakteristik perempuan pada umumnya. Tapi tidak dengan tekadku. Jika tergoda oleh kemegahan, aku masih punya tekad untuk menyederhanakan. Jika aku terobsesi dengan kekayaan, entah darimana datangnya kekuatan untuk menjaga semuanya sesuai dengan porsinya.

Mama, Ayah, aku tidak tahu pasti ilmu seperti apa yang berperan dalam pertumbuhan kalian. Kita sangat berbeda tapi kita saling menyayangi. Ada darah yang mengikat kita untuk selalu ingin bersama dan ada adat budaya yang tidak bisa memisahkan kita. Selalu harus ada orang yang diandalkan oleh orang lainnya. Entah kenapa, aku malah terobsesi ingin hidup sendirian. Setelah teknologi mengajariku banyak informasi, budaya, tatanan, dan banyak lagi. Aku semakin punya keyakinan. Tapi berbentuk abstrak dan belum kumengerti cara menuliskannya. Sekali lagi, aku bukan manusia jaman lampau. Aku belajar dari era informasi yang begitu memabukkan. Aku masih belajar. Gagasan-gagasan yang bukan tulisan tanganku ini mungkin akan terbaca oleh beberapa orang, Ma, Yah. Tapi tidak dengan kalian. Ku kira kalian sudah puas dengan hidup yang seperti sekarang. Ku kira kalian sudah tidak akan mau lagi ikut perkembangan jamanku yang begitu kompleks dan membingungkan. Seakan-akan kalian sudah ingin mengejar dimensi yang lain.

Tidak, aku sedang tidak membicarakan kedua orang yang selalu melindungiku. Aku sedang tidak membicarakan seberapa protektifnya mereka terhadap tumbuh kembangku. Gagasanku ini hanya segelintir resah yang bisa tertuang. Sisanya entah. Teknologi telah memaksaku dan beberapa orang lainnya untuk belajar. Belajar menguasai dunia lalu mengeruknya untuk dijadikan beberapa lembar kertas yang lucu. Kertas lucu yang selalu menjadi tujuan utama dalam hidup. Meski katanya kertas lucu itu tidak berpengaruh dengan apa yang kita dapat, tapi kertas lucu itu yang punya peran utama untuk mendapatkan apa yang kita mau. Bah. Aku semakin belum tahu membawa kemana gagasan-gagasanku ini. Tujuan-tujuan semula serasa melebur malam ini. Tapi kemungkinan besar akan terbakar kembali esok hari. Teknologi yang mendekatkan kita tidak boleh tersia-siakan, Ma, Yah. Teknologi ini juga yang harus mendekatkan aku pada tujuanku. Keringat kita tidak akan kering sebelum kita mendapat imbalannya.

Kalimat demi kalimat yang tersusun dalam buku elektronik ini adalah keresahan perempuan yang tidak tahu kemana risalahnya harus dialamatkan. Sementara mengenyam pendidikan yang semakin ruwet, sementara tuntutan untuk menjadi unggul telah menekan dari segala arah. Sementara orientasi mayoritas adalah materi. Dan sungguh benar teori spiral of silence itu. Aku telah ditaklukkan mayoritas untuk membungkam keminoritasanku. Maka dengan ini aku mencari kedamaian atas ketakutanku menjadi beda dari yang lain. Haha lagi pula aku tidak terlalu mengerti teori spiral of silence. Pertama, karena saat materi itu diajarkan, pengajarnya adalah seorang perempuan dari rusia yang berbicara bahasa inggris dengan kata-kata sulit. Kedua, banyak tugas lain yang minta di optimalkan sementara aku tidak sempat memperdalam teori itu. Ketiga, haha aku pemalas dan dimanjakan teknologi.

*ps: haha

Selasa, 11 Maret 2014

Malam

Belum ada malam istimewa yang datang. Bukan, bukan malam istimewa romantis yang kau bayangkan. Malam-malam belakangan ini selalu pendek. Sebelum Aku mengantuk, ternyata jam menunjukkan sudah hampir pagi. Sebelum Aku puas tidur, ternyata siang sudah melumat embun. Lalu besoknya Aku coba bikin malam yang panjang. Yang istimewa.
Keesokannya malam tetap sama saja. Bertemu ditengahnya, lalu tiba-tiba sudah diakhiri pagi. Malam-malam itu kenapa begitu-gitu saja. Paling-paling ada bulan penuh atau setengah penuh dengan bintang-bintang. Atau bulan sabit yang membentuk senyuman tipis tapi tanpa bintang. Itu pun belum cukup istimewa. Besok akan kucoba membikin malam yang panjang lagi. Dan tentu yang istimewa.
Sekarang sudah malam lagi. Setelah tadi Aku tidak bangun menghirup embun. Setelah Aku tidak berkeringat karena matari siang. Setelah Aku melewatkan senja yang megah. Aku sampai pada malam yang ingin kubikin menjadi panjang. Caranya, ada beberapa tulisan yang kutulis kembali. Tidak untuk dibaca orang, tentu hanya untukku. Aku menulis menulis dan terus menulis sampai tanganku pegal. Lalu Aku baca lagi. Ada kebahagiaan dalam coretan-coretan itu. Ada tinta merah. Dan tentu, ada mimpi lalu penyesalan. Aduh Aku jadi bosan. Tulisan-tulisan itu tidak bermakna. Tidak berfungsi. Tidak penting. Aku akan gagal lagi membuat malam yang panjang dan istimewa itu.
Diantara perasaan was-was, Aku tidak berani tidur. Bukan untuk menunggu pagi, tapi untuk memanjangkan malam. Ini pekerjaan yang sungguh sulit! Aku hampir saja menyerah. Kalau saja bukan karena takut bermimpi, Aku akan segera tidur. Tapi mimpi-mimpi itu sudah memendekkan malam-malamku dan memaksa Aku untuk melakukan ini. Yah...setidaknya Aku tidak berharap Kau temani. Hanya saja, malam-malam belakangan ini sungguh sulit ditaklukkan. Dia laksana lubang gelap yang selalu meminta ditemani. Jika terpelet, Kau seperti akan jatuh dalam gelap lubangnya dan tidak bisa keluar sampai ternyata besoknya Kau tidak bertemu pagi. Kau sudah sibuk menemaninya.

Aku lupa, ingin mengingat tapi ingat apa. Hahaha. Oh iya, memanjangkan malam! Tapi tidak mau yang istimewa. Dua puluh lima, malam itu akan segera datang. Dan semoga tidak panjang dan istimewa. Lebih baik jatuh dalam dalam nanti malam daripada nanti kita ketemu di dua puluh lima. Aku pamit dulu. Sudah malam...

*ps : Aduh aku berkeliaran malam malam