Tinta, hitam dan pekat. Aku tuliskan segalanya diatas kertas putih. Bukan, aku bukan manusia jaman lampau. Aku sedang memencet tombol-tombol huruf di layar putih. Tulisan tanganku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hasil teknologi mutakhir yang telah diciptakan manusia. Rapih. Jarak demi jarak sudah teratur. Huruf demi huruf tertata rapi meski tanpa garis tepi. Kemampuan menulisku semakin diserap. Lama kelamaan aku tidak ingin menulis diatas kertas putih dengan tanganku sendiri.
Jamanku sudah jaman informasi dan teknologi. Peran teknologi sudah mengambil alih pikiran-pikiran manusia. Belum tahu yang mana yang mesti dipercayai. Terombang-ambing dalam arus informasi yang tidak menentu. Kemana hidup mau dibawa, selalu ragu. Takut tidak menemui uang bulanan yang cukup untuk menopang kehidupan kelak. Takut tidak diberi pandang kehormatan jika tidak memiliki profesi tetap. Betapa menekan tombol-tombol ini sudah mengubah banyak hidup manusia.
Bicara tentang fakta, observasiku
tidak akan pernah cukup. Perlu penelitian dan banyak teori yang telah
dibuktikan untuk menjanjikan bahwa tulisanku ini cukup akurat. Tapi tidak, aku
sedang tidak mengerjakan metode penelitian sosial. Aku sedang bicara tentang
perasaanku. Banyak kekuatan yang minta dikeluarkan sementara kaki belum
sepenuhnya dapat berpijak. Aku tumbuh dalam teknologi yang menggila, aku
belajar dari informasi yang carut-marut. Aku pun tidak tahu akan kemana kubawa
generasiku. Sementara tidak pernah ada kebenaran yang kutemukan.
Mama, aku ingin mengadu. Tapi kita
telah dibesarkan di jaman yang berbeda. Aku terlalu modern untuk mau mengalah.
Kau terlalu kuno untuk membuka pikiran pada hal-hal dalam kehidupanku. Ayah,
tidak banyak nasihatmu yang bersemayam dalam kepalaku. Tapi aku tahu
setahu-tahunya. Bahwa kau menginginkan aku untuk hidup sejahtera tanpa
kekurangan sesuatu apapun. Ayah, aku seorang perempuan. Kaumku semakin jaman
semakin bertambah dan semakin liar. Pikiranku juga begitu. Aku tidak ingin jadi
manusia pencari uang bulanan, tapi aku harus bertahan dan mengisi perutku.
Sementara kemewahan selalu menggodai mata batinku. Ya, aku perempuan dan aku
selalu memilki karakteristik perempuan pada umumnya. Tapi tidak dengan tekadku.
Jika tergoda oleh kemegahan, aku masih punya tekad untuk menyederhanakan. Jika
aku terobsesi dengan kekayaan, entah darimana datangnya kekuatan untuk menjaga
semuanya sesuai dengan porsinya.
Mama, Ayah, aku tidak tahu pasti ilmu
seperti apa yang berperan dalam pertumbuhan kalian. Kita sangat berbeda tapi
kita saling menyayangi. Ada darah yang mengikat kita untuk selalu ingin bersama
dan ada adat budaya yang tidak bisa memisahkan kita. Selalu harus ada orang
yang diandalkan oleh orang lainnya. Entah kenapa, aku malah terobsesi ingin
hidup sendirian. Setelah teknologi mengajariku banyak informasi, budaya,
tatanan, dan banyak lagi. Aku semakin punya keyakinan. Tapi berbentuk abstrak
dan belum kumengerti cara menuliskannya. Sekali lagi, aku bukan manusia jaman
lampau. Aku belajar dari era informasi yang begitu memabukkan. Aku masih belajar.
Gagasan-gagasan yang bukan tulisan tanganku ini mungkin akan terbaca oleh
beberapa orang, Ma, Yah. Tapi tidak dengan kalian. Ku kira kalian sudah puas
dengan hidup yang seperti sekarang. Ku kira kalian sudah tidak akan mau lagi
ikut perkembangan jamanku yang begitu kompleks dan membingungkan. Seakan-akan
kalian sudah ingin mengejar dimensi yang lain.
Tidak, aku sedang tidak membicarakan
kedua orang yang selalu melindungiku. Aku sedang tidak membicarakan seberapa
protektifnya mereka terhadap tumbuh kembangku. Gagasanku ini hanya segelintir
resah yang bisa tertuang. Sisanya entah. Teknologi telah memaksaku dan beberapa
orang lainnya untuk belajar. Belajar menguasai dunia lalu mengeruknya untuk
dijadikan beberapa lembar kertas yang lucu. Kertas lucu yang selalu menjadi
tujuan utama dalam hidup. Meski katanya kertas lucu itu tidak berpengaruh
dengan apa yang kita dapat, tapi kertas lucu itu yang punya peran utama untuk
mendapatkan apa yang kita mau. Bah. Aku semakin belum tahu membawa kemana
gagasan-gagasanku ini. Tujuan-tujuan semula serasa melebur malam ini. Tapi
kemungkinan besar akan terbakar kembali esok hari. Teknologi yang mendekatkan
kita tidak boleh tersia-siakan, Ma, Yah. Teknologi ini juga yang harus
mendekatkan aku pada tujuanku. Keringat kita tidak akan kering sebelum kita
mendapat imbalannya.
Kalimat demi kalimat yang tersusun
dalam buku elektronik ini adalah keresahan perempuan yang tidak tahu kemana
risalahnya harus dialamatkan. Sementara mengenyam pendidikan yang semakin
ruwet, sementara tuntutan untuk menjadi unggul telah menekan dari segala arah.
Sementara orientasi mayoritas adalah materi. Dan sungguh benar teori spiral of
silence itu. Aku telah ditaklukkan mayoritas untuk membungkam keminoritasanku.
Maka dengan ini aku mencari kedamaian atas ketakutanku menjadi beda dari yang
lain. Haha lagi pula aku tidak terlalu mengerti teori spiral of silence.
Pertama, karena saat materi itu diajarkan, pengajarnya adalah seorang perempuan
dari rusia yang berbicara bahasa inggris dengan kata-kata sulit. Kedua, banyak
tugas lain yang minta di optimalkan sementara aku tidak sempat memperdalam
teori itu. Ketiga, haha aku pemalas dan dimanjakan teknologi.
*ps: haha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar