Kamis, 13 Maret 2014

Belum Hebat


Tinta, hitam dan pekat. Aku tuliskan segalanya diatas kertas putih. Bukan, aku bukan manusia jaman lampau. Aku sedang memencet tombol-tombol huruf di layar putih. Tulisan tanganku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hasil teknologi mutakhir yang telah diciptakan manusia. Rapih. Jarak demi jarak sudah teratur. Huruf demi huruf tertata rapi meski tanpa garis tepi. Kemampuan menulisku semakin diserap. Lama kelamaan aku tidak ingin menulis diatas kertas putih dengan tanganku sendiri.

Jamanku sudah jaman informasi dan teknologi. Peran teknologi sudah mengambil alih pikiran-pikiran manusia. Belum tahu yang mana yang mesti dipercayai. Terombang-ambing dalam arus informasi yang tidak menentu. Kemana hidup mau dibawa, selalu ragu. Takut tidak menemui uang bulanan yang cukup untuk menopang kehidupan kelak. Takut tidak diberi pandang kehormatan jika tidak memiliki profesi tetap. Betapa menekan tombol-tombol ini sudah mengubah banyak hidup manusia.

Bicara tentang fakta, observasiku tidak akan pernah cukup. Perlu penelitian dan banyak teori yang telah dibuktikan untuk menjanjikan bahwa tulisanku ini cukup akurat. Tapi tidak, aku sedang tidak mengerjakan metode penelitian sosial. Aku sedang bicara tentang perasaanku. Banyak kekuatan yang minta dikeluarkan sementara kaki belum sepenuhnya dapat berpijak. Aku tumbuh dalam teknologi yang menggila, aku belajar dari informasi yang carut-marut. Aku pun tidak tahu akan kemana kubawa generasiku. Sementara tidak pernah ada kebenaran yang kutemukan.

Mama, aku ingin mengadu. Tapi kita telah dibesarkan di jaman yang berbeda. Aku terlalu modern untuk mau mengalah. Kau terlalu kuno untuk membuka pikiran pada hal-hal dalam kehidupanku. Ayah, tidak banyak nasihatmu yang bersemayam dalam kepalaku. Tapi aku tahu setahu-tahunya. Bahwa kau menginginkan aku untuk hidup sejahtera tanpa kekurangan sesuatu apapun. Ayah, aku seorang perempuan. Kaumku semakin jaman semakin bertambah dan semakin liar. Pikiranku juga begitu. Aku tidak ingin jadi manusia pencari uang bulanan, tapi aku harus bertahan dan mengisi perutku. Sementara kemewahan selalu menggodai mata batinku. Ya, aku perempuan dan aku selalu memilki karakteristik perempuan pada umumnya. Tapi tidak dengan tekadku. Jika tergoda oleh kemegahan, aku masih punya tekad untuk menyederhanakan. Jika aku terobsesi dengan kekayaan, entah darimana datangnya kekuatan untuk menjaga semuanya sesuai dengan porsinya.

Mama, Ayah, aku tidak tahu pasti ilmu seperti apa yang berperan dalam pertumbuhan kalian. Kita sangat berbeda tapi kita saling menyayangi. Ada darah yang mengikat kita untuk selalu ingin bersama dan ada adat budaya yang tidak bisa memisahkan kita. Selalu harus ada orang yang diandalkan oleh orang lainnya. Entah kenapa, aku malah terobsesi ingin hidup sendirian. Setelah teknologi mengajariku banyak informasi, budaya, tatanan, dan banyak lagi. Aku semakin punya keyakinan. Tapi berbentuk abstrak dan belum kumengerti cara menuliskannya. Sekali lagi, aku bukan manusia jaman lampau. Aku belajar dari era informasi yang begitu memabukkan. Aku masih belajar. Gagasan-gagasan yang bukan tulisan tanganku ini mungkin akan terbaca oleh beberapa orang, Ma, Yah. Tapi tidak dengan kalian. Ku kira kalian sudah puas dengan hidup yang seperti sekarang. Ku kira kalian sudah tidak akan mau lagi ikut perkembangan jamanku yang begitu kompleks dan membingungkan. Seakan-akan kalian sudah ingin mengejar dimensi yang lain.

Tidak, aku sedang tidak membicarakan kedua orang yang selalu melindungiku. Aku sedang tidak membicarakan seberapa protektifnya mereka terhadap tumbuh kembangku. Gagasanku ini hanya segelintir resah yang bisa tertuang. Sisanya entah. Teknologi telah memaksaku dan beberapa orang lainnya untuk belajar. Belajar menguasai dunia lalu mengeruknya untuk dijadikan beberapa lembar kertas yang lucu. Kertas lucu yang selalu menjadi tujuan utama dalam hidup. Meski katanya kertas lucu itu tidak berpengaruh dengan apa yang kita dapat, tapi kertas lucu itu yang punya peran utama untuk mendapatkan apa yang kita mau. Bah. Aku semakin belum tahu membawa kemana gagasan-gagasanku ini. Tujuan-tujuan semula serasa melebur malam ini. Tapi kemungkinan besar akan terbakar kembali esok hari. Teknologi yang mendekatkan kita tidak boleh tersia-siakan, Ma, Yah. Teknologi ini juga yang harus mendekatkan aku pada tujuanku. Keringat kita tidak akan kering sebelum kita mendapat imbalannya.

Kalimat demi kalimat yang tersusun dalam buku elektronik ini adalah keresahan perempuan yang tidak tahu kemana risalahnya harus dialamatkan. Sementara mengenyam pendidikan yang semakin ruwet, sementara tuntutan untuk menjadi unggul telah menekan dari segala arah. Sementara orientasi mayoritas adalah materi. Dan sungguh benar teori spiral of silence itu. Aku telah ditaklukkan mayoritas untuk membungkam keminoritasanku. Maka dengan ini aku mencari kedamaian atas ketakutanku menjadi beda dari yang lain. Haha lagi pula aku tidak terlalu mengerti teori spiral of silence. Pertama, karena saat materi itu diajarkan, pengajarnya adalah seorang perempuan dari rusia yang berbicara bahasa inggris dengan kata-kata sulit. Kedua, banyak tugas lain yang minta di optimalkan sementara aku tidak sempat memperdalam teori itu. Ketiga, haha aku pemalas dan dimanjakan teknologi.

*ps: haha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar