Sabtu, 11 Januari 2014

Diam!

Tangisku sudah tidak mau meledak lagi. Beribu kesal ku pendam dan beribu dendam sudah bersarang dalam dada. Segalanya belum juga mau bertumpah ke ujung lidah. Singkatnya, aku masih sabar. Ku perhatikan dia; semakin aku sabar, semakin dia injak tengkukku.

Beberapa hari belakangan ini dia selalu berlagak seperti Tuhan. Dia menghakimiku, dia menyalahkanku, dia menilaiku, dia bahkan tidak pernah mau memaafkanku. Begitu sempurnanya dia memandang dirinya sendiri sehingga sebegitu kurangnya aku dimatanya. Wah! Tuhan Maha Kuasa menciptakan congkak manusia macam dia.

Sudah kubilang, aku tidak suka adu argumen. Mungkin belum pernah kubilang? Aku memilih diam setiap perkara orang-orang disekitarku merebak. Aku memilih diam ketika siapapun menilai aku salah dan nanti di kemudian hari, dengan diamku, dia akan sadar sendiri betapa aku yang sebenarnya benar. Wah! Aku terlalu banyak diam. Kupikir aku bisa ciptakan bahagia dari sana.

Se-lama ini, selama diamku tetap ku gunakan untuk kedamaianku sendiri, dia merasa menang. Akhirnya aku ikut caranya. Tidak lagi aku diam. Aku ladeni segala argumennya. Pembangkang! Katanya. Wah! Sekarang dia Tuhan dalam duniaku. Tuhan yang sebenarnya juga sedang diam memperhatikan kami. Atau malah aku lah yang berlagak seperti Tuhan? Tuhan masih juga diam tak menunjukkan satu apa pun. Aku memaki dalam hati. Bukan, bukan untuk Tuhan, tapi untuk kami yang berlagak Tuhan.

Lalu kami saling menghancurkan. Entah itu jawaban Tuhan, atau kelancangan kami. Tidak tahu. Bagaimanapun, aku mencintai kedamaian lebih dari apapun. Dan menurutku, diam adalah kedamaianku. Meski diamku tak mengubah apapun disekitarku, diamku telah menjadi selimut hati untuk damaiku sendiri. Bukankah aku harus mendamaikan diriku sebelum berusaha berdamai dengan sekitarku? Ah tidak tahu. Setidaknya aku enyahkan mereka yang ribut dengan lagak Tuhan itu. Aku mau diam dulu.

*ps: ditulis pada 13 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar