Beberapa hari belakangan ini dia selalu berlagak seperti
Tuhan. Dia menghakimiku, dia menyalahkanku, dia menilaiku, dia bahkan tidak
pernah mau memaafkanku. Begitu sempurnanya dia memandang dirinya sendiri
sehingga sebegitu kurangnya aku dimatanya. Wah! Tuhan Maha Kuasa menciptakan
congkak manusia macam dia.
Sudah kubilang, aku tidak suka adu argumen. Mungkin belum
pernah kubilang? Aku memilih diam setiap perkara orang-orang disekitarku
merebak. Aku memilih diam ketika siapapun menilai aku salah dan nanti di
kemudian hari, dengan diamku, dia akan sadar sendiri betapa aku yang sebenarnya
benar. Wah! Aku terlalu banyak diam. Kupikir aku bisa ciptakan bahagia dari
sana.
Se-lama ini, selama diamku tetap ku gunakan untuk
kedamaianku sendiri, dia merasa menang. Akhirnya aku ikut caranya. Tidak lagi
aku diam. Aku ladeni segala argumennya. Pembangkang! Katanya. Wah! Sekarang dia
Tuhan dalam duniaku. Tuhan yang sebenarnya juga sedang diam memperhatikan kami.
Atau malah aku lah yang berlagak seperti Tuhan? Tuhan masih juga diam tak
menunjukkan satu apa pun. Aku memaki dalam hati. Bukan, bukan untuk Tuhan, tapi
untuk kami yang berlagak Tuhan.
Lalu kami saling menghancurkan. Entah itu jawaban Tuhan,
atau kelancangan kami. Tidak tahu. Bagaimanapun, aku mencintai kedamaian lebih
dari apapun. Dan menurutku, diam adalah kedamaianku. Meski diamku tak mengubah
apapun disekitarku, diamku telah menjadi selimut hati untuk damaiku sendiri.
Bukankah aku harus mendamaikan diriku sebelum berusaha berdamai dengan
sekitarku? Ah tidak tahu. Setidaknya aku enyahkan mereka yang ribut dengan
lagak Tuhan itu. Aku mau diam dulu.
*ps: ditulis pada 13 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar